Selasa, 23 Maret 2010

penalaran bhs indonesia

Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.

Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence).

Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.Metode dalam menalar

Ada dua jenis metode dalam menalar yaitu induktif dan deduktif.
[sunting] Metode induktif

Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum.

Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti.

Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.
[sunting] Metode deduktif

Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.

Contoh: Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.
Wiki letter w.svg Bagian ini membutuhkan pengembangan
[sunting] Konsep dan simbol dalam penalaran

Penalaran juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan akan berupa argumen.

Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis.

Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Bersama – sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari rangkaian pengertian.
[sunting] Syarat-syarat kebenaran dalam penalaran

Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat – syarat dalam menalar dapat dipenuhi.

* Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah.
* Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan – aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.

engertian Penalaran dan Contohnya

Istilah penalaran atau reasoning dijelaskan oleh Copi (1978) sebagai berikut: “Reasoning is a special kind of thinking in which inference takes place, in which conclusions are drawn from premises” (h.5). Dengan demikian jelaslah bahwa penalaran merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasar pada beberapa pernyataan yang diketahui benar ataupun yang dianggap benar yang disebut premis. Istilah lain yang sangat erat dengan istilah penalaran adalah argumen. Giere (1984) menyatakan: “An argument is a set of statements divided into two parts, the premises and the intended conclusion” (h.32). Dapatlah disimpulkan sekarang bahwa pernyataan yang menjadi dasar penarikan suatu kesimpulan inilah yang disebut dengan premis atau antesedens. Sedang hasilnya, suatu pernyataan baru yang merupakan kesimpulan disebut dengan konklusi atau konsekuens. Dari dua definisi tadi akan jelaslah bahwa ada kesamaan antara penalaran dan argumen. Beda kedua istilah itu menurut Soekardijo (1988) adalah, kalau penalaran itu aktivitas pikiran yang abstrak maka argumen ialah lambangnya yang berbentuk bahasa atau bentuk-bentuk lambang lainnya. Bentuk atau bagan suatu argumen adalah:

(Premis 1)

(Premis 2)

           .

(Premis n)\

Jadi, kesimpulan.

Berikut ini akan disajikan satu contoh penalaran. Pada suatu hari, seorang ibu yang dikenal cerewet akan pergi ke Setasiun Kota dengan taksi. Selama di dalam taksi, si ibu tadi berceritera panjang lebar yang pada akhirnya membuat kesal Pak Sopir. Pak Sopir lalu menyatakan kepada Ibu tadi bahwa alat bantu pendengarannya tertinggal di rumahnya sehingga ia tidak mendengar pembicaraan si ibu tadi dan memintanya untuk berhenti berceritera. Sesampainya di setasiun, si ibu dengan kemampuan bernalarnya yang cukup canggih merasa bahwa pak Sopir itu telah berbohong kepadanya karena ia telah menyatakan bahwa alat bantu pendengarannya tertinggal di rumahnya. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah, mengapa si ibu tadi lalu sampai pada kesimpulan seperti itu?

Ternyata, dengan kemampuan bernalarnya, si ibu tadi berdasar fakta-fakta dan asumsi-asumsi yang telah dijadikan sebagai premis, ia sampai pada suatu konklusi bahwa Pak Sopir itu telah berbohong kepadanya. Argumen yang tersusun di dalam benaknya sehingga ia sampai ke kesimpulan tersebut di kenal di dalam logika maupun matematika sebagai pembuktian tidak langsung (indirect proof, reductio ad absurdum) yang paling sering digunakan Euclides untuk membuktikan rumus-rumus geometrinya. Langkah awal dalam pembuktian tidak langsung ini adalah dengan memisalkan sangkalan atau negasi dari yang ingin dibuktikan merupakan hal yang terjadi. Karena si ibu ingin meyatakan bahwa si sopir tadi masih menggunakan alat bantu pendengarannya, maka yang dimisalkan pada premis 1 adalah sangkalan atau negasi dari yang ingin dibuktikannya itu, yaitu si sopir tidak menggunakan alat bantu pendengarannya. Inilah argumennya.

Premis 1: Misalkan si sopir tidak menggunakan alat bantu pendengarannya.

Premis 2: Jika si sopir tidak menggunakan alat bantu pendengarannya maka ia tidak akan mendengar permintaannya untuk diantar ke Setasiun Kota.

Premis 3: Jika ia tidak mendengar permintaannya ke Setasiun Kota, maka ia tidak akan diantar ke Setasiun Kota.

Premis 4: Ternyata ia diantarkan ke Setasiun Kota.

Perhatikan premis 1 sampai 3 di atas. Jika si sopir memang benar tidak menggunakan alat bantu pendengarannya maka ia tidak akan mendengar permintaan si ibu tadi, sehingga ia tidak akan diantarkan ke Setasiun Kota. Adakah yang salah pada argumen atau penalaran ibu tersebut? Tidak ada bukan. Intinya, jika si sopir memang benar tidak menggunakan alat bantu pendengarannya maka si ibu tidak akan diantarkan ke Setasiun Kota. Ternyata pada premis 4, berdasar fakta yang ada, si ibu diantarkan ke setasiun kota. Hal ini telah menunjukkan terjadinya suatu keadaan yang kontradiktif, suatu keadaan yang absurd. Seharusnya si ibu tidak diantar ke setasiun sebagai akibat dari pemisalan pada premis 1, namun ia diantar ke setasiun. Kesimpulan akhirnya, pemisalan pada premis 1 yang telah menyebabkan suatu keadaan yang kontradikdif (absurd) itu harus ditolak dan harus diberi nilai salah. Dengan demikian, tidaklah benar bahwa si sopir tadi tidak menggunakan alat bantu pendengarannya. Kata lainnya, si sopir tadi masih menggunakan alat bantu pendengarannya. Jadi, si sopir telah berbohong kepada si ibu.

Implikasinya Untuk Masa Depan BangsaÂ

Ilmu yang mempelajari serta mengkaji cara-cara untuk menarik kesimpulan yang sahih, valid, atau correct adalah logika. Ada pernyataan menarik yang dikemukakan Sir Bertrand Russell (filusuf Inggris) seperti diterjemahkan Suriasumantri (1988) berikut ini: “Matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika (h.199).” Di saat belajar matematika, para siswa akan selalu dihadapkan dengan proses penalaran, terutama dalam bentuk jika p maka q. Pada beberapa kasus berikut (DES, 1986), siswa harus menggunakan kemampuan bernalarnya untuk menarik kesimpulan:

* Jika Andi lebih tinggi dari Bani dan Bani lebih tinggi dari Chandra, maka Andi akan lebih tinggi dari Chandra.
* Jika Johan berumur 10 tahun dan Amir berumur dua tahun lebih tua, maka Amir berumur 12 tahun.
* Jika besar dua sudut pada suatu segitiga adalah 600 dan 1000 maka sudut yang ketiga adalah 1800 – (1000 + 600) = 200. Hal ini didasarkan pada teori matematika yang menyatakan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 1800.
* Jika (x – 1) (x + 10) = 0 maka x = 1 atau x = –10.
* Untuk menentukan hasil dari 998 + 1236 maka saya dapat mengambil (meminjam) 2 nilai dari 1236 untuk ditambahkan ke 998 sehingga menjadi 1000. Dengan demikian 998 + 1236 sama nilainya dengan 1000 + 1234 yang bernilai 2234. Jadi, 998 + 1236 = 1000 + 1234 = 2234.

Dengan demikian jelaslah bahwa selama mengikuti pelajaran Matematika, aplikasi penalaran sering ditemukan meskipun tidak secara formal disebut sebagai belajar bernalar. Dengan aplikasi penalaran ini, diharapkan para siswa akan semakin tajam kemampuan bernalarnya. Ke depan, pendidikan di Indonesia harus mampu mengantarkan para siswanya menjadi warga negara yang cerdas, berpikiran maju, dan demokratis. Berkait dengan pentingnya penalaran untuk setiap warga negara, ada pernyataan menarik yang dikemukakan mantan Presiden AS Thomas Jefferson sebagaimana dikutip Copi (1978) berikut ini: “In a republican nation, whose citizens are to be led by reason and persuasion and not by force, the art of reasoning becomes of first importance”  (h. vii). Pernyataan itu menunjukkan pentingnya penalaran dan argumentasi dipelajari dan dikembangkan di suatu negara sehingga setiap warga negara akan dapat dipimpin dengan daya nalar (otak) dan bukannya dengan kekuatan (otot) saja.

Beberapa hal yang telah disampaikan di atas tadi telah menunjukkan pentingnya penalaran (reasoning) bagi para pemimpin, ilmuwan dan matematikawan, sampai ke rakyat biasa. Sekali lagi, kemampuan bernalar inilah yang akan membedakan manusia dari binatang, para pemimpin dari rakyatnya, warga negara yang berpikiran maju dari warga negara yang masih berpikiran tradisionil. Idealnya, di masa yang akan datang, dengan contoh konkrit dari para pemimpin bangsa dan negara, warga bangsa ini akan semakin matang. Di saat akan memilih Presiden dan wakilnya di MPR nanti misalnya, sebagai warga bangsa yang baik dan bertanggung jawab, sudah seharusnya mereka mengedepankan seni bernalar seperti yang ditunjukkan mantan Presiden AS Thomas Jefferson dan mantan Presiden RI Soeharto:

* Jika saya memilih partai A, kerugian untuk bangsa ini adalah ….
* Jika saya memilih partai B, keuntungan untuk negara ini (karena saya dan anak-anak saya menjadi warganya) adalah ….
* Jika saya memilih partai C, yang mungkin terjadi di masa yang akan datang adalah … sehingga saya harus melakukan ….
* Saya harus memilih presiden yang akan memperjuangkan seluruh warga bangsa ini (termasuk dirinya dan anak-anaknya di masa depan) dan bukan yang hanya memperjuangkan segelintir orang-orangnya. Karena itu, saya akan memilih calon presiden D meskipun ia bukan dari partai saya, dan tidak akan memilih calon presiden E maupun F.

Penutup

Tulisan yang dimulai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) serta ceritera tentang Pak Harto ini telah menunjukkan tentang penalaran yang dibutuhkan para pemimpin bangsa, ilmuwan, dan juga dibutuhkan setiap warga negara. Berdasar argumen-argumen yang telah dikemukakan tadi, wajar dan masuk akal jika penalaran (reasoning) dikategorikan sebagai kompetensi dasar yang harus dikuasai para siswa. Seni bernalar memang sangat dibutuhkan di setiap segi dan setiap sisi kehidupan ini agar setiap warga bangsa dapat menemutunjukkan dan menganalisis setiap masalah yang muncul secara jernih; dapat memecahkan masalah dengan tepat; dapat menilai sesuatu secara kritis dan objektif; serta dapat mengemukakan pendapat maupun idenya secara runtut dan logis. Pada akhirnya, haruslah menjadi kommitment setiap guru matematika untuk lebih mengedepankan peningkatan kemampuan bernalar para siswanya sebagai bagian dari tugas utamanya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsanya.

Yogyakarta , Agustus 2007Â

 Daftar Pustaka

Copi, I.M. (1978). Introduction to Logic. New York: Macmillan.

DES (1986). Mathematics From 5 to 16. London: HMSO.

Giere, R. N. (1984). Understanding Scientific Reasoning (2ndEdition). New York: Holt, Rinehart and Winston.

Soekardijo, R.G. (1988). Logika Dasar, Tradisionil, Simbolik dan Induktif. Jakarta:Â Gramedia.

Suriasumantri, J.S. (1988). Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harapan.

Tempo (6 April 1991). Memoar Jenderal Sumitro. h. 64.
http://id.wikipedia.org/wiki/Penalaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar